Palembang Independen – Pementasan Tari Gending Srwijaya dan Dulmuluk “Siti Zubaidah” yang digelar Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) , Sabtu (19/11) di hotel Swarna Dwipa di soal sejumlah seniman dan budayawan dikota Palembang lantaran dinilai menyalahi pakem.
“Saya mendapat kiriman video tentang tampilan Tari Gending Srwijaya yang ditampilkan dalam kegiatan Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) pada hari ini, Sabtu (19/11) di hotel Swarna Dwipa. Tampak dalam video tersebut jumlah penari hanya 3 orang. Dari jumlah penari saja sudah jelas menyalahi pakem. Minimal jumlah penari untuk Tari Gending Sriwijaya itu berjumlah 9 orang. Lengkapnya 13 orang. 4 orang tambahan adalah 1 orang penyanyi, 1 orang pembawa payung, dan dua orang pembawa tombak,” kata ketua Komunitas Seniman Tari (Kasta) Palembang, Imansyah, Minggu (20/11).
Menurut Iman, berdasarkan kesaksian para sesepuh tari, ada instruksi dari Gubernur Asnawi Mangku Alam sekitar tahun 1968 yang mengklasifikasi bahwa tari Gending Sriwijaya untuk menyambut orang pertama dalam satu negara seperti presiden, perdana menteri, raja, sultan dan sebutan lainnya. Maka, sudah seharusnya kita mematuhi ketentuan yang sudah disepakati bersama oleh para sesepuh tari ini.
“Jadi, penampilan tari di kegiatan Hiski di Hotel Swarnadwipa kemarin sebenarnya cukup menggunakan Tari Tanggai saja, bukan tari Gending Sriwijaya. Saya berharap kegiatan ini dapat dijadikan catatan. Bahwa jika ingin membuat kegiatan sebaiknya bertanya kepada orang yang paham, agar tidak sesat dan menyesatkan,” katanya.
Dia mengaku khawatir, dengan kejadian ini orang-orang beranggapan apa yang dilakukan oleh “orang-orang pintar” itu adalah benar. Padahal belum tentu benar.
“Saya sebagi ketua Komunitas Seniman Tari (Kasta) Palembang memiliki tanggungjawab moral untuk menjaga dan melestarikan tari, apalagi Tari Gending Sriwijaya yang menjadi kebanggan masyarakat Sumsel,” katanya.
Rendi, Seniman Dulmuluk Palembang, juga angkat bicara terkait penampilan Dulmuluk yang ditampilkan dalam kegiatan Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) , Sabtu (19/11) di hotel Swarna Dwipa yang dia juga sepakat menyalahi pakem.
Rendi mengaku dirinya sudah jauh-jauh hari memberikan arahan dari awal kepada panitia acara tersebut dan akhirnya kesalahan ini terulang lagi dan dirinya tidak lagi menonton kegiatan tersebut lantaran takut emosi akan terpancing.
“ Mereka ini tidak menampilkan Dulmuluk , tapi yang ditampilkan itu bangsawan , karena di Palembang ini khan ada dua, ada Dulmuluk dan ada bangsawan, Dulmuluk yang hakekatnya itu sebagai teater klasik Sumsel karena sudah ada pakem dan bertahan puluhan tahun dan berangkat dari teks, sebab Dulmuluk itu teks dan bentuk penyajian tapi yang paling krusial itu teksnya,” katanya.
Menurut Rendi, Dulmuluk muluk itu sejatinya diangkat dari syair Sultan Abdul Muluk dan ditahun 1990an muncul syair tandingan yaitu syair Zubaidah Siti.
“ Sebenarnya Syair Zubaidah Siti ini dianggap bangsawan dulunya tahun 1970an, 1980an, kemudian dianggap Dulmuluk karena yang menampilkannya adalah orang Dulmuluk dan sah disepakati, jadi ada dua syair, syair Dulmuluk sama syair Zubaidah Siti, itulah ceritanya yang mirip dengan cerita-cerita didaerah lain, jadi tidak akan berubah ceritanya,” katanya.
Dia tidak habis pikir penampilan Dulmuluk yang menyalahi pakem terulang kembali dan terjadi di Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) pada hari ini, Sabtu (19/11) di hotel Swarna Dwipa.
“ Padahal ini masalah pernah terjadi beberapa tahun yang lalu tapi kok diulangi oleh mereka lagi, “ katanya.
Menurut Rendi , kalau memang Dulmuluk yang digelar dianggap sebagai bentuk revitalisasi, menurutnya tidak ada gunanya, kalau sekadar fungsinya untuk menjaga eksistensi tapi lebih dari itu , harusnya nilai-nilai yang ada di dalam Dulmuluk itu harus tetap dijaga.
“ Jadi percuma kita bicara revitalisasi dalam Dulmuluk, tapi kita menghancurkan nilai-nilai yang ada dalam Dulmuluk itu sendiri. Silahkan melakukan revitalisasi tapi dengan catatan kita tidak merubah teks dan tidak keluar dari pakem,” katanya.
Sedangkan budayawan Palembang Yai Beck juga menilai penampilan tari Geding Srwijaya dan Dulmuluk yang ditampilkan dalam kegiatan Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) di Hotel Swarnadwipa dinilainya menyalahi pakem.
“ Ya itu suatu kesalahan, sebab tahun 1970 sudah ada anjuran dari Gubernur Sumsel Asnawi Mangkualam bahwa tari Gending Sriwijaya untuk RI I dan duta-duta luar dan tidak boleh tari Gending ditampilkan secara sembarangan, jadi tari Gending itu sakral, jadi menampilannya tadi bawa tepak tapi tepak tidak ada gunanya, dan tari Gending Sriwijaya itu penarinya 9 tadi yang ditampikan tiga orang dan tari Gending itu penarinya 9 ditambah personil lain jadi 13 orang, diluar Tari Gending Sriwijaya bisa menggunakan tari Tanggai,” katanya.
Sedangkan kalau tari Tanggai menurutnya bisa ditampilkan 1 orang atau 2 orang atau 5 orang .
Sedangkan sutradara Tari Geding Srwijaya dan Dulmuluk yang ditampilkan dalam kegiatan Himpunan Sarjana Kesusatraan Indonesia (Hiski) pada hari ini, Sabtu (19/11) di hotel Swarna Dwipa, Prof Dr Nurhayati M.Pd ketika dihubungi tidak merespon, begitupula ketika di hubungi dan chat melalui whatsapps juga tidak merespon. (Ril)