Banner Muba

Palembang Independen — Di Palembang terdapat beberapa peninggalan sejarah yang menjadi kekayaan budaya, diantaranya adalah sebuah masjid di pinggir sungai musi yang bernama Masjid Jami’ Sungai Lumpur, yang terletak di Kelurahan 11 ulu Palembang.

Masjid Jami’ Sungai Lumpur Palembang adalah salah satu masjid tertua yang berada di Kota Palembang (1259 H/1837 M) hingga sampai saat ini Masjid Jami’ Sungai Lumpur masih terawat dengan rapi. Permasalahan penelitian adalah untuk mengetahui nilai budaya Masjid Jami’ Sungai Lumpur sebagai sumber pembelajaran Sejarah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai budaya Masjid Jami’ Sungai Lumpur sebagai sumber pembelajaran Sejarah.

Metode penelitian adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan observasi, dokumentasi, dan kajian pustaka. Teknik analisis data dengan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan Masjid Jami’ Sungai Lumpur memiliki nilai sejarah syiar Islam di Kota Palembang pada abad 19 Masehi.

Masjid Jami’ Sungai Lumpur memiliki nilai budaya berupa nilai tangible dan intangible. Nilai budaya tangible Masjid Jami’ Sungai Lumpur antara lain seni arsitektur bangunan masjid, seni ukiran, seni lukis, benda upacara keagamaan (bedug, bendera, tongkat, panggung kotbah).

Nilai budaya intangible Masjid Jami’ Sungai Lumpur antara lain: konsep sembilan, konsep kearifan lingkungan pelestarian lahan basah.

Nilai sejarah dan nilai budaya Masjid Jami’ Sungai Lumpur dapat dijadikan sumber ajar, materi pengayaan materi penyebaran agama Islam dan sejarah lokal.

ASPEK ARSITEKTURAL
Masjid dalam sejarahnya mempunyai arti penting dalam kehidupan umat Islam, hal ini karena masjid sejak masa Rasulullah SAW, telah menjadi sentra utama seluruh aktivitas umat Islam generasi awal, bahkan, masjid kala itu menjadi “fasilitas” umat Islam mencapai kemajuan peradaban.

Pada masa Rasulullah SAW, masjid berfungsi sebagai sentra kegiatan-kegiatan pendidikan, yakni tempat pembinaan dan pembentukan karakter umat. Bahkan lebih strategis, pada masa Rasulullah SAW, masjid menjadi sentra kegiatan politik, ekonomi, sosial dan budaya umat.
Hal ini karena disetiap harinya umat Islam berjumpa dan mendengar arahan-arahan Rasulullah SAW, tentang hal ini. Sekarang ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana fungsinya pada masa Rasulullah SAW, hidup yang menjadi sentra seluruh kegiatan umat Islam.

Pengertian masjid tempat shalat umat Islam disebut masjid, tidak disebut marka (tempat ruku’) atau kata lain semisal dengannya yang menjadi rukun shalat.

Sujud juga dapat diartikan sebagai perbuatan meletakkan kening ke tanah, secara maknawi mengandung arti menyembah. Sedangkan sajadah berasal dari kata sajjadatun yang mengandung arti tempat yang dipergunakandenga untuk sujud, mengkerucut maknanya menjadi selembar kain atau karpet yang dibuat khusus untuk shalat orang per orang. Karena itu, karpet masjid yang lebar, meski fungsinya sama tetapi tidak disebut sajadah.

Bentuk Bangunan Masjid Arsitektur masjid terbentuk dengan sangat kuat oleh tradisi regional sesuai waktu dan tempat di mana masjid tersebut dibangun. Oleh karena itu, gaya, tata letak dan dekorasinya bisa sangat beragam (bervariasi). Namun demikian, karena fungsi umum bangunan masjid sebagai tempat shalat berjamaah maka beberapa fitur arsitektur tertentu bisa muncul pada bangunan masjid di seluruh dunia.

Di Indonesia, arsitektur bangunan masjid banyak dipengaruhi oleh tradisi dan budaya yang merupakan peninggalan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, sehingga bangunan masjid yang dibangun sebelum abad ke-20 Masehi yang diistilahkan dengan sebutan “masjid lama” mempunyai bentuk yang sangat kuat dipengaruhi oleh tradisi dan budaya masyarakat setempat. Elemen dasar dari bangunan masjid adalah ruang sholat, tempat di mana jamaah bisa menghadap ke arah kiblat, bangunan Ka’bah di Kota Mekkah, yang orientasi didefinisikan oleh keberadaan mihrab (ceruk) di dinding kiblat tempat Imam memimpin sholat. Mimbar tempat khotib memberikan khutbah ditempatkan di sebelah kanan mihrab. Ruang untuk sholat bisa dikelilingi dinding, tiang-tiang, atau arcade. Ruang ini diakses melalui pintu masuk (gerbang) yang berbeda dalam desain, di beberapa negara, pintu gerbang masuk memiliki nilai arsitektur untuk memperoleh simbolis yang besar.

Bentuk keruangan masjid cenderung melebar dari dalam. Pemilihan bentuk spasial ini dimaksudkan untuk memberi lebih banyak kesempatan jamaah untuk lebih dekat dengan dinding kiblat yang diketahui karena manfaat surgawinya.

Pola perkembangan serta pemilihan bentuk arsitektur Masjid Jami’ Sungai Lumpur yang dilakukan dalam rentang waktu yang panjang bisa dibedakan atas proses penambahan bangunan membentuk beberapa lapisan yang membalut bangunan inti, serta upaya membuka balutan bangunan tambahan untuk mengungkap keaslian dan citra bangunan sebenarnya.

Upaya paling mudah untuk melakukan identifikasi perkembangan bangunan masjid paling dilakukan terhadap keberadaan dan posisi dinding kiblat dengan mihrab di bagian tengahnya, sebagai elemen penting arsitektur bangunan masjid yang memiliki kekuatan bahkan menjadi simbol, yang secara turun temurun ada dan terus menerus muncul. Perjalanan waktu menunjukkan bahwa keberadaan dinding kiblat beserta bangunan “penampil” diarah Barat bangunan inti Masjid Jami’ Sungai Lumpur Palembang tetap bertahan selama ratusan tahun dalam proses perkembangan yang terjadi berulang kali sampai perwujudannya yang terakhir.

Mihrab Masjid Jami’ Sungai Lumpur merupakan mihrab asli yang belum mengalami perubahan bentuk, namun telah beberapa kali mengalami pengecatan dan perbaikan sampai dalam bentuk yang sekarang.

Mihrab masjid berbahan kayu tembesu yang dihiasi ukiran motif sulur dan buah, daun anggur yang dicat prada emas. Beberapa bagian dihiasi dengan ornamen laquer bunga dan daun.

Atap

Bentuk atap Masjid Jami’ Sungai Lumpur terbagi menjadi dua jenis yaitu tajug tumpang tiga yang menaungi ruang utama masjid dan limasan yang menaungi ruang serambi masjid.

Bentuk atap tajug dengan model piramida mengerucut disatu titik puncak sejajar dengan keempat soko guru pada tengah ruang utama (ruang dalem dalam terminologi Jawa) peneliti menemukan nilai-nilai filosofis yang ditunjukkan oleh eksistensi dari atap tajug yang menjadi atap utama masjid dan merupakan bentuk yang paling dominan, yaitu: dengan bentuk atap tajug piramida berjenjang tiga semakin ke atas semakin mengerucut/mengecil, ada titik puncak atau pencapaian akhir yang disimbolkan dengan mahkota.

Atap masjid vertikalitas bentuk atap tajug yang mengarah ke atas, menggambarkan adanya unsur transenden/immaterial berkenaan dengan pesan yang disampaikan, yaitu tujuan dari ibadah kepada Allah SWT.

Horizontalitas bentuk atap limasan yangdenga disimbolkan dengan bubungan (molo), menggambarkan adanya unsur immanen/material berkenaan hubungan sesama manusia dan hubungan dengan lingkungannya. Bentuk penampang bawah atap tajug adalah bujursangkar, hal ini disebabkan oleh bentuk denah ruang utama yang juga berbentuk bujursangkar.

Tiang

Masjid Jami’ Sungai Lumpur merupakan masjid tipe Jawa yang beratap limasan, walaupun pada beberapa bagian telah mengalami perubahan dan pergantian dan dihilangkan sehingga mengaburkan bentuk aslinya. Contohnya hilangnya lampu-lampu asli dari minyak damar (setelup) yang dapat dinaik-turunkan pada saat menghidupkan dan mematikannya.
Dan yang tersisa hanya sisa- sisa besi penggantungnya saja. Tiang-tiang masih dalam bentuk aslinya, hanya batu tapaknya yang dilapisi semen dan keramik. Namun secara keseluruhan masih dalam bentuk asli.

Menara

Menara adalah salah satu arsitekt ur Islam. Menara merupakan struktur tunggal yang tinggi menjulang dan menonjol keluar dari lingkungannya. Sebuah menara biasanya memiliki unsur-unsur, base, shaft, balkon dan mahkota, kubah, kepala menara.

Dalam Islam menara selalu disandingkan dengan masjid dan digunakan oleh Muadzin untuk mengumandangkan adzan, memanggil umat Islam shalat berjamaah.

Indonesia memiliki arsitektur masjid kuno yang khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Tipe masjid Indonesia berasal dari pulau Jawa, sehingga orang dapat menyebut masjid tipe Jawa.

Ciri khas masjid tipe Jawa: 1) Menara dengan gaya menara kulkul Bali; 2) Menara yang mendapat pengaruh Portugis; 3) Menara yang mendapat pengaruh Belanda dengan bentuk seperti mercusuar; 4) Menara yang mendapat pengaruh gaya Hadramaut (Arab); 5) Menara yang mendapat pengaruh India (Sutrisno, 2013:4-7).

Tempat Wudhu

Pemisahan tempat wudhu dengan kamar mandi. Tempat wudhu berada di atas sejajar dengan lantai utama bangunan, sedangkan untuk kamar mandi berada di bawah tempat wudhu sejajar dengan permukaan tanah (Bahar, 2012:12).

Terdapat halaman yang cukup luas melebihi luas lahan bangunan masjid. Halaman ini tidak beratap dan sangat panas diwaktu siang hari, sedangkan dimalam hari hempasan angin cukup kencang dan dingin. Kondisi ini menjadikan halaman ini kurang terawat kebersihannya. Terlebih lagi ditambah desain lantai yang bergaris-garis berlubang, sebenarnya desain ini digunakan untuk drainase halaman agar tidak ada air yang menggenang, namun pada kenyataannya garis-garis tersebut dipenuhi sampah, daun-daun kering dan rumput liar. Pada tempat wudhu tidak ada tempat untuk mencuci kaki yang kotor, baik berupa kolam pencuci kaki maupun kran sebelum masuk area wudhu, sehingga lantai suci bisa saja menjadi najis walaupun terlihat bersih (Bahar, 2012:19).

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *