Banner Muba

Palembang Independen — Cikal bakal mendirikan Masjid Agung bermula saat masjid Ki Gedeh Ing Suro terbakar akibat dihancurkan Mayor Van Der Laen pada Perang Palembang dan Belanda pada tahun 1659. Masjid yang terbakar itu terletak di Keraton Kuto Gawang.

Peletakan batu pertama Masjid Agung dilakukan 1 Jumadil Akhir 1151 H (1738 M) dan diresmikan 26 Mei 1748 M di samping Keraton Tengkuruk (Kuto Kecik). Bangunan masjid berbentuk persegi panjang dengan arsitektur bergaya Eropa.

Menurut Djohan Hanafiah, pada awalnya Masjid Agung berbentuk bujur sangkar dengan mihrab di sebelah barat yang dihiasi kaligrafi “Muhammad Betangkep”. Di samping mihrab terdapat mimbar berukiran khas Palembang mirip mimbar Nabi Muhammad SAW di Masjid Madinah, menunjukkan pengaruh arsitektur Arab.

Sultan Mahmud Badaruddin I menentukan sendiri arsitektur masjid dengan atap bersusun tiga berujung mustaka bergaya Cina. Arsitektur Masjid Agung banyak dipengaruhi oleh Arab, Cina, dan tradisional.

Pengaruh Cina tampak pada hiasan keramik di dinding masjid. Orang-orang Cina sejak masa Sriwijaya sudah menetap di Palembang dan berperan penting dalam perdagangan, administrasi, serta pembangunan. Mereka juga ahli membuat bata dan menjadi tukang batu seperti pada pembangunan Benteng Kuto Besak. Masyarakat Cina tinggal di seberang Ulu dan seberang Ilir, dipimpin oleh seorang kapitan atau letnan yang diangkat oleh pihak kolonial Belanda.

Aspek Arsitektural Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang menjadi warisan penting Kesultanan Palembang Darussalam. Bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga mencerminkan perpaduan nilai-nilai Islam dengan budaya Melayu serta pengaruh luar seperti Cina dan Eropa. Setiap elemen arsitekturnya memuat makna simbolis dan filosofi yang mendalam tentang keimanan dan identitas masyarakat Palembang.

Atap: Bentuk atap Masjid Agung Palembang berbentuk limas bertingkat tiga (tumpang) yang menyerupai rumah adat Melayu dan juga mirip pagoda Cina. Setiap tingkat atap melambangkan tahapan spiritual manusia menuju tauhid atau keesaan Tuhan. Ujung atap yang melengkung menggambarkan pengaruh arsitektur Cina, sementara mustaka di puncaknya menjadi simbol ketinggian nilai ilahi dalam Islam.

Tiang: Tiang-tiang utama masjid pada awalnya terbuat dari kayu ulin yang kuat dan tahan lama, kemudian sebagian diganti dengan beton pada masa kolonial Belanda. Tiang ini bukan hanya struktur penopang bangunan, tetapi juga melambangkan keteguhan iman dan kekuatan umat Islam dalam menopang kehidupan spiritual serta sosial masyarakat Palembang.

Mihrab: Bagian mihrab merupakan pusat orientasi ibadah yang menghadap kiblat. Mihrab Masjid Agung Palembang berbentuk lengkung sederhana dengan ukiran kaligrafi bertuliskan ayat Al-Qur’an berwarna emas. Kesederhanaan bentuknya menunjukkan nilai kerendahan hati dalam beribadah, sedangkan letaknya yang menjadi pusat perhatian jamaah melambangkan hubungan langsung antara manusia dan Allah.

Menara: Menara masjid berbentuk segi empat menjulang dengan puncak kubah kecil di atasnya. Gaya menara ini memperlihatkan pengaruh arsitektur Eropa, terutama dari masa kolonial, namun tetap mempertahankan unsur Islam pada bentuk dan fungsi. Selain berfungsi sebagai tempat mengumandangkan azan, menara juga menjadi simbol seruan dakwah Islam dan penanda kebesaran masjid di tengah kota Palembang.

Bahan Bangunan: Masjid ini menggunakan kayu, bata merah, dan genteng tanah liat sebagai bahan utama. Material lokal tersebut menciptakan kesan alami dan sejuk, sekaligus menunjukkan kearifan masyarakat Palembang dalam memanfaatkan sumber daya sekitar. Warna dominan krem dan hijau muda menonjolkan kesan kesucian, kesejukan, dan kedamaian hati dalam beribadah.

Tata Ruang: Tata ruang Masjid Agung Palembang dirancang dengan pola terbuka dan berpusat pada mihrab. Ruang utama digunakan untuk ibadah berjamaah, sedangkan serambi dan halaman berfungsi untuk kegiatan sosial dan keagamaan. Pemisahan area wudhu dan ruang utama menegaskan pentingnya kesucian dan kebersihan, sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan kemurnian lahir dan batin dalam beribadah.

Keseluruhan bentuk arsitektur Masjid Agung Palembang menunjukkan perpaduan unsur lokal Melayu dengan pengaruh Islam, Cina, dan Eropa yang berpadu secara harmonis. Unsur Melayu tampak pada bentuk atap tumpang dan ukiran kayu bermotif flora, pengaruh Cina terlihat pada ujung atap melengkung seperti pagoda, sedangkan pengaruh Eropa tampak pada jendela lengkung dan menara bergaya kolonial. Akulturasi ini menggambarkan keterbukaan masyarakat Palembang terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan jati diri Islamnya. Setiap elemen bangunan memiliki makna simbolis yang mencerminkan nilai-nilai

keislaman, atap bertingkat sebagai perjalanan spiritual menuju keesaan Tuhan, tiang sebagai keteguhan iman, dan tata ruang terbuka sebagai wujud kebersamaan serta keterbukaan dalam beragama. Masjid Agung Palembang dengan demikian menjadi simbol harmoni antara nilai spiritual, budaya lokal, dan identitas masyarakat yang terus hidup hingga kini.

Aspek Nilai dan Identitas Masjid Agung Palembang

Masjid Agung Palembang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi simbol identitas masyarakat Melayu Palembang. Arsitekturnya mencerminkan nilai-nilai Islam seperti tauhid, kesederhanaan, kebersamaan, kebersihan, dan keterbukaan yang berpadu dengan unsur budaya lokal.

Nilai tauhid tampak pada tata ruang yang berpusat pada mihrab dan orientasi ke kiblat, menggambarkan kesatuan arah dan fokus hanya kepada Allah. Kesederhanaan terlihat dari bentuk bangunan yang tidak berlebihan, dengan warna netral dan ornamen yang seimbang antara fungsi dan estetika. Nilai kebersamaan terwujud melalui peran masjid sebagai pusat kegiatan sosial, pendidikan, dan keagamaan yang menyatukan masyarakat Palembang sejak masa Kesultanan. Sementara itu, kebersihan diwujudkan lewat penataan area wudhu dan ruang ibadah yang menjaga kesucian. Nilai keterbukaan tampak pada desain halaman luas dan akses yang mudah, menunjukkan filosofi Islam yang mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk beribadah tanpa batasan.

Keterkaitan Masjid Agung Palembang dengan identitas Melayu sangat kuat. Bentuk atap limas bertingkat, penggunaan kayu, dan ornamen bermotif flora mencerminkan budaya lokal, sedangkan pengaruh Cina tampak pada atap melengkung dan Eropa pada bentuk jendela lengkung. Akulturasi ini melambangkan keterbukaan masyarakat Palembang terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan jati diri keislamannya.

Dalam konteks arsitektur Islam modern, Masjid Agung Palembang menjadi contoh bagaimana nilai-nilai Islam dan identitas lokal dapat berpadu secara harmonis. Desainnya menunjukkan bahwa modernitas dapat berjalan berdampingan dengan tradisi, serta menjadi inspirasi bagi pengembangan masjid kontemporer yang tetap berakar pada nilai spiritual dan budaya.

Tulisan ini dibuat oleh Mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang dan tidak mewakili redaksi.

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *