Griya Literasi

Palembang Independen – Pindang ikan merupakan kuliner khas masyarakat melayu di Sumatera Selatan. Pindang ikan menandakan lanskap di Sumatera Selatan yang terbagi dalam tiga ekosistem yakni dataran tinggi, rendah dan pesisir, yang terhubung melalui ratusan sungai. Bahan baku pindang, seperti ikan dan rempah-rempah, didapatkan dan ditemukan di tiga ekosistem tersebut.

Ada sembilan sungai besar yang menghubungkan tiga ekosistem tersebut, yang disebut “Batanghari Sembilan”, yakni Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Lematang, Sungai Rawas, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, Sungai Batanghari Leko, Sungai Lakitan, dan Sungai Musi.

“Masakan pindang ikan yang beragam bumbu juga menandakan masyarakat Melayu di Sumatera Selatan terbuka, sehingga masakan pindang menjadi media alkulturasi berbagai suku bangsa di Sumatera Selatan,” kata T. Wijaya, dari Teater Potlot.

“Selain itu, masakan pindang juga menjadi media ekspresi dan komunikasi perempuan Melayu. Aktifitas ini disebut mindang, yakni masak pindang bersama dalam sebuah pertemuan keluarga,” lanjut T.Wijaya.

Pentingnya keberadaan kuliner pindang ikan ini, membuat pemerintah berupaya melindunginya dengan cara menetapkan masakan pindang sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) oleh Kemendikbud pada Tahun 2018.

Pada hari ini, masakan pindang di Sumatera Selatan mulai terancam. Perubahan bentang alam, seperti kerusakan sungai, rawa gambut, dan hutan, mengakibatkan berkurang atau hilangnya bahan baku masakan pindang. Sekitar 4,5 juta hektar hutan dan rawa gambut (kawasan daerah aliran sungai-DAS) di Sumatera Selatan mengalami perubahan peruntukan.

“Jika masakan pindang hilang, berdampak hilangnya jejak alkulturasi, media ekspresi dan komunikasi kaum perempuan Melayu, serta sumber ekonomi masyarakat [usaha mikro],” kata T. Wijaya.

Beranjak dari persoalan tersebut Teater Potlot melaksanakan program “Pindang: Merawat Sungai dari Dapur Ibu”. Program yang didukung Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dalam bentuk program hibah Fasilitasi Bidang Kebudayaan [FBK] 2022, dalam bentuk tiga kegiatan.

Tujuannya menjadikan masakan pindang sebagai mitigasi lingkungan dan budaya. Ketiga kegiatan tersebut digelar di Taman Budaya Sriwijaya, Jakabaring, Palembang, pada Minggu-Senin [6-7 November 2022].

Pertama, seminar pindang. Seminar ini bersamaan dengan kegiatan festival atau penyajian beragam masakan pindang di Sumatera Selatan. Acara digelar pada hari Minggu [06 November 2022] dari pukul 09.00-17.00 WIB.

Sebagai narasumber dalam seminar pindang menghadirkan Afrizal Malna, seorang praktisi dan pengamat budaya dan seni. Tiga akademisi yakni Dr. Najib Asmani [Universitas Sriwijaya], Dr. Yenrizal [UIN Raden Fatah Palembang], Dr. Amilda [UIN Raden Fatah Palembang], serta Yudhy Syarofie, praktisi budaya Palembang.

Seminar ini terbuka bagi umum. Peserta yang hadir mendapatkan sertifikat. Seminar akan membahas masakan pindang dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari ekologi, budaya, dan seni.

Kedua, pertunjukan teater. Pertunjukan teater akan digelar Teater Potlot pada hari Senin [07 November 2022], pukul 15.00-17.00 WIB, juga di Taman Budaya Sriwijaya.

Pertunjukan yang disajikan berjudul “Dapur Ibu dan Anak-Anaknya” karya T.Wijaya dan Conie Sema. Pertunjukan yang melibatkan mahasiswa, pelajar, dan pekerja seni, disutradarai T.Wijaya.

“Kami melihat pindang sebagai sebuah kekayaan atau keberagaman.

Pertunjukan ini mencoba menyajikan keberagaman tersebut dengan kesadaran terkini para performer, serta mereka yang terlibat. Benturan kesadaran sebagai dampak perubahan bentang alam terhadap pindang, kami coba sajikan di panggung pertunjukan,” jelas T. Wijaya.

Ketiga. Virtual pindang. Sebuah karya virtual akan disajikan Teater Potlot melalui channel Rumah Sriksetra di platform youtube.

“Karya virtual ini beranjak dari pertunjukan Dapur Ibu dan Anak-Anaknya. Tapi tentunya karya virtual ini menjadi peristiwa yang baru.

Jadi, menyaksikan pertunjukan di atas panggung akan berbeda dengan apa yang disajikan dalam karya virtual,” kata Yudi Semai, selaku kreator virtual.

“Harapan saya, karya ini menjadi peristiwa budaya, juga menjadi arsip pengetahuan,” tutup Yudi. (WR/Rill)

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *