Palembang Independen — Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN (Persero) Abrar Ali mengeluarkan pernyataan yang menyoroti urgensi pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) terutama terkait skema power wheeling. Ia menilai bahwa pembahasan tersebut sebaiknya dilanjutkan pada masa pemerintahan baru yang akan mulai bertugas pada Oktober mendatang.
Menurut Abrar, keinginan pemerintah untuk memasukkan power wheeling dalam RUU EBET tidak boleh dipaksakan hanya untuk memenuhi ambisi politik rezim yang sebentar lagi akan berakhir. Penolakan dari berbagai pihak terhadap RUU ini menunjukkan bahwa masih ada sejumlah masalah yang perlu dibahas lebih lanjut agar tidak merugikan masyarakat dan negara di masa depan.
Dalam siaran pers yang disampaikan pada Kamis (11/7), Abrar merespons pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Saat rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (24/5) lalu, Menteri ESDM menyatakan bahwa pemerintah tidak ragu dan terus mendorong skema power wheeling untuk dimasukkan dalam RUU EBET.
Abrar menilai kekhawatiran Menteri ESDM tentang kemungkinan ketidakmampuan PLN menyediakan listrik jika terjadi lonjakan permintaan sangat berlebihan. “Terlalu didramatisasi soal lonjakan demand tersebut. Faktanya, hingga saat ini kita masih eksis melayani kebutuhan listrik masyarakat dan dunia industri. Jika ada lonjakan demand, PLN akan mengantisipasinya dengan pertumbuhan jumlah pembangkit baru. Jadi jangan terlalu didramatisasilah, kasihan rakyat. Rakyat kini sudah lelah menghadapi ekonomi yang sedang morat-marit ini,” kata Abrar.
Ia menambahkan bahwa skema power wheeling masih memerlukan kajian lebih lanjut. “Masih ada penolakan. Faktanya, saat rapat tersebut, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto menyatakan pihaknya menolak skema power wheeling dimasukkan dalam RUU EBET karena tidak sekadar mengatur soal sewa jaringan transmisi PLN oleh swasta. Ada implikasi yang krusial, PLN tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga dalam sistem single buyer and single seller (SBSS), tapi membentuk multi buyer and multi seller system (MBMS),” ungkap Abrar mengutip pernyataan Mulyanto dari sejumlah media.
Penolakan serupa juga disampaikan oleh pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. Menurut Fahmy, skema power wheeling berpotensi menambah beban APBN dan merugikan negara. Skema ini akan menggerus permintaan pelanggan organik PLN hingga 30 persen dan pelanggan nonorganik hingga 50 persen. Penurunan ini tidak hanya memperbesar kelebihan pasokan PLN, tapi juga menaikkan harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Dampaknya dapat membengkakkan APBN untuk membayar kompensasi kepada PLN, karena tarif listrik PLN di bawah HPP dan harga keekonomian. Terhadap rakyat, penetapan tarif listrik yang diserahkan kepada mekanisme pasar akan membuat tarif listrik bergantung pada demand and supply.
Menanggapi masih adanya kontra terhadap skema power wheeling, Abrar menyarankan agar pembahasan RUU EBET dilanjutkan pada masa presiden periode 2024-2029 mendatang. “Jadi kita masih ada waktu untuk melakukan pembahasannya, sehingga tidak ada yang dirugikan. Jangan hanya ingin memaksakan ‘syahwat politik’ dipaksakan harus selesai sebelum periode presiden sekarang yang akan berakhir pada Oktober mendatang. Kasihan rakyat dan akan menjadi beban negara nantinya,” tegas Abrar. (ril)