Palembang Independen – Skema Power Wheeling menjadi pusat perhatian dalam diskursus kebijakan energi nasional. Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN, M.Abrar Ali, dengan tegas menyebut power wheeling sebagai “benalu” yang menghambat transisi energi di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan dalam jumpa pers di kantor Pusat PLN, Jakarta, Jumat (06/09).
Power Wheeling memungkinkan pihak swasta dan negara menjual listrik di pasar terbuka atau langsung ke konsumen akhir, baik dalam skema Wholesale Wheeling (penjualan besar ke perusahaan listrik) maupun Retail Wheeling (penjualan langsung ke konsumen akhir), dengan memanfaatkan jaringan transmisi dan distribusi yang ada.
“Power wheeling adalah benalu dalam transisi energi kita. Penerapan skema ini berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi ekonomi negara dan ketahanan energi nasional. Kebijakan ini harus segera ditinjau ulang agar dampak negatif yang mungkin timbul dapat diminimalisir,” tegas Abrar.
Abrar memaparkan berbagai dampak negatif power wheeling, meliputi:
Dampak Keuangan:
- Menggerus permintaan listrik hingga 30% (organik) dan 50% (non-organik/KTT).
- Meningkatkan beban APBN dengan tambahan biaya Rp 3,44 triliun per GW pembangkit baru.
- Meningkatkan beban Take or Pay (ToP) hingga Rp 112 triliun sampai tahun 2030.
Dampak Hukum:
- Bertentangan dengan UU No. 20 Tahun 2022 yang telah dibatalkan MK.
- Mereduksi peran negara dalam menjamin kepentingan umum di sektor ketenagalistrikan.
Dampak Teknis:
- Memperparah oversupply listrik di Jawa dan Bali.
- Meningkatkan risiko blackout akibat ketidakstabilan pasokan EBT.
- Meningkatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) karena kebutuhan spinning reserve tambahan.
Dampak Ketahanan Energi:
- Mengancam keandalan pasokan listrik dan akses masyarakat terhadap energi.
- Meningkatkan harga listrik yang membebani konsumen dan APBN.
Menanggapi hal ini, SP PLN menyatakan akan menempuh langkah diplomasi dengan DPR, DPD, tim transisi pemerintahan, dan pihak terkait lainnya untuk menolak penerapan skema power wheeling. Abrar juga mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan ini demi menjaga stabilitas sektor energi dan mencegah kerugian ekonomi jangka panjang. (ril)